Pemerintah kembali akan menambah pungutan atas penghasilan rakyat. Melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 diputuskan bahwa Pemerintah akan melakukan pungutan atas pendapatan masyarakat dengan nama Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) yang berlaku untuk seluruh pekerja di BUMN, Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) dan perusahaan swasta. Bahkan Pemerintah juga sedang mengkaji kemungkinan memberlakukan pungutan ini untuk para driver ojek online.
Reaksi penolakan terjadi. Bukan saja para pekerja dan buruh yang menolak pungutan ini. Para pengusaha yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) juga merasa keberatan. Pungutan sebesar 3% ini dinilai akan menjadi beban tambahan bagi pekerja dan pengusaha. Ini karena pungutan Tapera 2,5% ditanggung pekerja, sedangkan 0,5% dibayar pengusaha.
Menambah Derita Rakyat
Pemerintah beralasan bahwa Tapera ini adalah solusi penyediaan perumahan bagi masyarakat yang belum memiliki perumahan. Ada 9,9 juta orang Indonesia yang belum memiliki rumah. Ada 14 juta warga berpenghasilan rendah yang tinggal di rumah yang tidak layak huni. Ada 81 juta penduduk usia milenial (usia 25-40 tahun) kesulitan memiliki hunian.
Presiden Jokowi menyatakan bahwa besaran pungutan Tapera ini sudah dihitung. Ia pun membandingkan pungutan Tapera ini dengan kebijakan Iuran BPJS. Iuran BPJS awalnya ramai dikritik. Namun, setelah berjalan, banyak orang merasakan manfaatnya karena mendapatkan perawatan di rumah sakit tanpa dipungut biaya.
Pernyataan di atas bertabrakan dengan kenyataan. Pasalnya, beban hidup warga sudah begitu berat. Jika mengikuti perhitungan Bank Dunia maka ada 40% atau 110 juta penduduk Indonesia yang tergolong miskin. Di sisi lain ada 10 juta penduduk generasi Z yang menganggur, tidak bersekolah, tidak ikut pelatihan dan tidak punya pekerjaan.
Ironinya, beban hidup masyarakat justru ditambah dengan berbagai pungutan selain Tapera. Para pekerja sudah dihadapkan pada berbagai pungutan, antara lain: Pajak Penghasilan (PPH), pungutan untuk BPJS Ketenagakerjaan, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang sudah naik menjadi 11% dan akan kembali naik menjadi 12% pada awal tahun 2025. Presiden Jokowi juga baru saja menyetujui kenaikan Harga Eceran Tertinggi (HET) beras yang otomatis menambah beban pengeluaran warga.
Kini ditambah lagi pungutan Tapera yang sifatnya wajib. Sudah ada sanksi yang disiapkan oleh Pemerintah untuk pekerja maupun pengusaha yang menolak program ini. Mulai dari sanksi administratif, denda hingga ancaman pencabutan izin usaha untuk para pengusaha. Bukankah ini menambah derita rakyat?!
Pungutan Paksa: Ghasab!
Pengambilan harta secara paksa atas harta orang lain adalah jalan batil yang dilarang agama. Allah ﷻ berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kalian saling memakan harta sesama kalian dengan jalan yang batil, kecuali melalui perdagangan atas dasar suka sama suka di antara kalian (TQS an-Nisa’ [4]: 29).
As-Sa’di menjelaskan maksud QS an-Nisa’ ayat 29 di atas: “Allah ﷻ telah melarang hamba-hambaNya yang Mukmin untuk memakan harta di antara mereka dengan cara yang batil. Ini mencakup ghasab (perampasan) dan mencuri. Juga mengambil harta dengan cara berjudi dan berbagai usaha yang tercela.” (As-Sa’di, Taysîr al-Karîm ar-Rahmân fî Tafsîr Kalâm al-Manân, 1/175).
Pelaku ghasab bisa individu. Bisa juga para penguasa yang mengambil harta rakyatnya dengan cara yang tidak sesuai syariah Islam, seperti berbagai pungutan atas penghasilan, kendaraan, tanah, rumah, barang belanjaan, dsb. Inilah yang dimaksud oleh Allah ﷻ dengan “memakan harta sesama kalian dengan cara yang batil.”
Penguasa yang membuat rakyatnya menderita diibaratkan oleh Rasulullah ﷺ seperti penggembala yang kasar terhadap hewan gembalaannya. Sabda beliau:
إِنَّ شَرَّ الرِّعَاءِ الْحُطَمَةُ فَإِيَّاكَ أَنْ تَكُونَ مِنْهُمْ
Sungguh penggembala paling jelek adalah yang kasar terhadap hewan gembalaannya. Waspadalah kalian! Jangan sampai kalian menjadi bagian dari mereka (HR Muslim).
Rumah: Kebutuhan Asasi
Dalam Islam hunian adalah salah satu kebutuhan asasi (primer) selain sandang dan pangan. Setiap kepala rumah tangga wajib menyediakan tempat tinggal bagi keluarga mereka. Allah ﷻ berfirman:
أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ وَلَا تُضَارُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا عَلَيْهِنَّ
Tempatkanlah mereka (para istri) di mana saja kalian bertempat tinggal sesuai dengan kemampuan kalian dan janganlah kalian menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka (TQS ath-Thalaq [65]: 6).
Kewajiban para suami menyediakan tempat tinggal untuk istri telah disepakati oleh para ulama. Dengan begitu istri dapat terlindungi dari pandangan orang lain di luar rumah, terjaga dari cuaca panas dan dingin, serta gangguan lainnya seperti binatang buas, dsb. Kepemilikan rumah tersebut mengikuti kemampuan para suami.
Islam juga menetapkan bahwa setiap orang berhak untuk memiliki rumah yang layak karena itu salah satu hal yang dapat membahagiakan manusia. Nabi ﷺ bersabda:
أَرْبَعٌ مِنَ السَّعَادَةِ: اَلْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ، وَالْمَسْكَنُ الْوَاسِعُ، وَالْجَارُ الصَّالِحُ، وَالْمَرْكَبُ الْهَنِيُّ
Ada empat perkara yang termasuk kebahagiaan: istri shalihah; tempat tinggal yang lapang; teman atau tetangga yang baik; dan kendaraan yang nyaman (HR Ibnu Hibban).
Syariah Islam menetapkan bahwa seseorang bisa memiliki tempat tinggal dengan cara membangun rumah sendiri atau dengan bantuan pihak lain, melalui jual-beli, pemberian, ataupun warisan. Hunian itu menurut Islam bisa berupa milik pribadi atau bisa juga sekadar hak guna pakai seperti rumah pinjaman atau rumah kontrakan.
Seorang kepala rumah tangga yang dengan sengaja tidak menyediakan tempat tinggal untuk keluarganya dianggap telah berdosa. Sabda Nabi ﷺ:
كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يَحْبِسَ عَمَّنْ يَمْلِكُ قُوتَهُ
Cukuplah seseorang itu dianggap berdosa ketika dia menahan nafkah dari orang yang menjadi tanggungannya (HR Muslim).
Solusi Islam
Tapera adalah bentuk lepas tangan negara dari membantu rakyat memiliki hunian. Melalui Tapera rakyat dipaksa saling menanggung, baik yang mampu maupun yang tidak mampu. Sama seperti BPJS. Negara berlepas tangan dari kewajiban memberikan pelayanan kesehatan kepada rakyatnya. Negara malah memaksa rakyat saling menanggung pelayanan kesehatan untuk mereka.
Sebaliknya, Islam justru mewajibkan negara (Khilafah) untuk membantu rakyat agar mudah mendapatkan rumah dengan mekanisme: Pertama, negara harus menciptakan iklim ekonomi yang sehat sehingga rakyat punya penghasilan yang cukup untuk memiliki rumah baik rumah pribadi maupun rumah sewaan.
Kedua, negara melarang praktik ribawi dalam jual-beli kredit perumahan. Riba untuk tujuan apapun adalah dosa besar. Dalam sistem kapitalisme banyak orang kesulitan memiliki rumah pribadi karena terhalang bunga/riba dalam kredit jual-beli rumah. Sebagian lagi terlilit utang cicilan rumah yang mengandung riba.
Ketiga, negara harus menghilangkan penguasaan lahan yang luas oleh segelintir orang/korporasi. Saat ini sistem yang berlaku justru meniadakan batasan dan kontrol terhadap penguasaan lahan. Akibatnya, banyak pengembang besar menguasai lahan yang amat luas yang dibutuhkan rakyat. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) pada tahun 2019 melaporkan ada lima perusahaan pengembang besar telah menguasai 28 kota yang baru dibangun di kawasan Jabodetabek. Mereka juga memonopoli kepemilikan lahan. Fenomena ini disebut land banking, yaitu penguasaan atas lahan yang luas, namun belum digarap. Akibatnya, rakyat tidak bisa membeli tanah dan properti kecuali melalui para pengembang tersebut dengan harga amat mahal.
Syariah Islam mengatur bahwa lahan yang selama tiga tahun ditelantarkan oleh pemiliknya akan disita oleh negara untuk diberikan kepada orang yang sanggup mengelolanya. Hal ini ditetapkan berdasarkan Ijmak Sahabat. Dengan cara ini praktik monopoli lahan bisa dihapuskan dan rakyat berkesempatan untuk memiliki lahan dan hunian dengan cara yang mudah.
Keempat, negara dapat memberikan lahan kepada rakyat yang mampu mengelola lahan tersebut. Negara juga dapat memberikan insentif atau subsidi kepada rakyat untuk kemaslahatan hidup mereka, termasuk untuk memudahkan mereka memiliki hunian. Nabi ﷺ, selaku kepala negara, pernah memberikan lahan di tanah al-‘Aqiq kepada Bilal bin al-Harits; memberikan tanah kepada Wa’il bin Hujr di Hadhramaut; serta memberikan tanah kepada Umar dan Utsman serta para Sahabat yang lain. Khalifah Umar bin Khaththab ra. juga pernah memberikan bantuan dari Baitul Mal untuk petani di Irak demi membantu mereka menggarap lahan pertanian, juga untuk hajat hidup mereka. Negara dalam hal ini dapat memberikan insentif atau bantuan kepada rakyat dari pos kepemilikan umum, jizyah, kharaj, atau ghanîmah.
Beginilah solusi Islam atas problem perumahan bagi rakyat. Syariah Islam telah memiliki solusi kongkrit dalam persoalan ini. Sungguh Islam adalah satu-satunya ideologi yang menjamin keadilan dan menghilangkan kezaliman akibat hukum-hukum dan ideologi buatan manusia.
Hikmah:
Abu Khair ra. berkata: Maslamah bin Makhlad (gubernur Mesir saat itu) menawarkan tugas penarikan pajak kepada Ruwafi bin Tsabit ra. Ia lalu berkata: Sungguh aku pernah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda:
إِنَّ صَاحِبَ الْمَكْسِ فِيْ النَّارِ
Sungguh para penarik/pemungut pajak (diazab) di neraka. (HR Ahmad).
والله أعلمُ ﺑﺎ ﻟﺼﻮﺍﺏ
“dan Allah lebih tahu yang sebenar-benarnya”
Kaffah Edisi 346