“Setelah PBNU dan Muhammadiyah, Giliran Persis Nyatakan Terima Konsesi Tambang.” Demikian salah satu judul berita di Republika.id., 29 Juli 2024.
“Alasan PP Persis Terima Kelola Tambang: Untuk Menjadi Contoh yang Benar.” Demikian judul berita di Detik.com, 30 Juli 2024.
Sebagaimana diketahui, sebelum Persis, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, telah lebih dulu menerima tawaran Pemerintah untuk mengelola tambang. Alasan ketiga ormas Islam tersebut tak jauh beda. Sebagaimana Persis, Muhammadiyah, misalnya, berkomitmen memperkuat dan memperluas dakwah dalam bidang ekonomi, termasuk pengelolaan tambang yang sesuai dengan ajaran Islam (Republika.id., 29/7/2024).
Seolah tak mau ketinggalan, Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun mengaku tengah mengkaji kemungkinan untuk turut mengelola usaha pertambangan dari Pemerintah (Lihat: Kompas.com, 25/7/2024).
Tiga Macam Kepemilikan dalam Islam
Menurut Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, ada tiga jenis kepemilikan dalam Islam:
- Kepemilikan individu (al-milkiyyah al-fardiyyah);
- Kepemilikan umum (al-milkiyyah al-‘âmmah);
- Kepemilikan negara (al-milkiyyah ad-dawlah)
Terkait kepemilikan umum, menurut Syaikh Muhammad Husain Abdillah, ada tiga macam: Pertama, apa saja yang menjadi hajat hidup orang banyak. Contoh: air, padang rumput, api, dll. Kedua, benda-benda yang dari segi bentuknya tidak boleh dikuasai oleh individu. Contoh: jalan, jembatan, sungai, danau, dll. Ketiga, barang tambang yang depositnya besar. Contoh: tambang emas dan tembaga, dll (Lihat: M. Husain Abdullah, Dirâsât fî al-Fikr al-Islâmi, hlm. 56).
Hakikat Kepemilikan Umum
Dalam pandangan Islam, barang tambang dalam jumlah besar hakikatnya adalah bagian dari milik umum/rakyat (al-milkiyyah ‘âmmah). Dasarnya adalah sabda Nabi Muhammad saw. yang menyatakan:
اَلْمُسْلِمُوْنَ شُرَكَاءُ في ثلَاَثٍ: فِي الْكَلَإِ وَالْماَءِ وَالنَّارِ
Kaum Muslim berserikat (memiliki hak yang sama) dalam tiga perkara yaitu: padang rumput, air dan api (HR Abu Dawud dan Ahmad).
Para ulama hadis menilai para perawi hadis ini tsiqah (terpercaya). Dengan demikian hadis ini absah untuk dijadikan hujjah.
Dalam riwayat lain, sebagaimana dinukil oleh Imam as-Sarkhasi, digunakan lafal: “An-Nâs syurakâ’ [un] (Umat manusia berserikat [memiliki hak yang sama])...” Menurut Imam as-Sarkhasi, “Di dalam hadis-hadis tersebut terdapat penetapan bahwa manusia, baik Muslim maupun kafir, berserikat dalam ketiga hal itu.” (Lihat: As-Sarkhasi, Al-Mabsûth, 3/355).
Para ulama sepakat bahwa air sungai, danau, laut, saluran irigasi, padang rumput adalah milik bersama dan tidak boleh dimiliki/dikuasai oleh seseorang.
Di sisi lain, ternyata Rasulullah ﷺ membolehkan sumur di Thaif dan Khaibar dimiliki oleh individu untuk menyirami kebun. Ini berarti berserikatnya manusia atas air itu bukan karena zatnya, tetapi karena sifatnya, yakni dibutuhkan oleh orang banyak. Ini juga berlaku bagi padang rumput (termasuk hutan) dan api (termasuk energi). Dengan kata lain berserikatnya manusia dalam ketiga hal pada hadis di atas karena sifatnya sebagai sesuatu yang dibutuhkan oleh masyarakat secara keseluruhan. Sifat ini merupakan ‘illat istinbâth[an] atas perserikatan manusia dalam ketiga hal itu.
Dengan demikian apa saja (air, padang rumput, api, sarana irigasi, jalan raya, jalan tol, pantai dan lautnya, dll) yang memenuhi sifat sebagai fasilitas umum adalah milik umum dan manusia berserikat di dalamnya. Perserikatan di sini bermakna kebersamaan dalam pemanfaatan. Dalam arti, semua itu harus dirasakan manfaatnya oleh semua anggota masyarakat. Tidak boleh dikuasai dan dirasakan manfaatnya oleh seseorang atau sebagian saja.
Tegasnya, semua yang dibutuhkan oleh masyarakat atau merupakan fasilitas publik (marâfiq al-jamâ’ah) tak hanya air, padang rumput dan api adalah termasuk dalam kepemilikan umum. Dari sini lahirlah kaidah kulliyyah:
كُلُّ مَا كَانَ مِنْ مَرَافِقِ الْجَمَاعَةِ كَانَ مِلْكِيَّةً عَامَةً
Setiap apa saja yang keberadaannya dibutuhkan oleh masyarakat adalah milik umum.
Selain itu ada kaidah:
اَلْعِلَّةُ تَدُوْرُ مَعَ الْمَعْلُوْلِ وُجُوْداً وَعَدَماً
Hukum itu bergantung pada ada atau tidaknya ‘illat-nya.
Berdasarkan kaidah ini, apa saja yang dibutuhkan oleh publik (marâfiq al-jamâ’ah) terkategori sebagai milik umum. Sebaliknya, jika bukan marâfiq al-jamâ’ah, meskipun tercantum dalam hadis tersebut, tidak terkategori sebagai milik umum sehingga boleh dimiliki oleh individu.
Contoh barang yang termasuk dalam kepemilikan umum selain air, padang rumput (termasuk hutan) dan api (termasuk energi seperti minyak, gas, listrik, batubara, dll) adalah semua barang tambang seperti emas, perak, tembaga, nikel, dll. Semua yang termasuk milik umum ini haram dimiliki atau dikuasai oleh individu, swasta apalagi asing. Tidak boleh pula penguasaannya diserahkan kepada ormas.
Dalam hadis lain Rasulullah ﷺ bersabda:
عَنْ أَبْيَضَ بْنِ حَمَّالٍ أَنَّهُ وَفَدَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ-صلى الله عليه وسلم-فَاسْتَقْطَعَهُ الْمِلْحَ فَقَطَعَ لَهُ فَلَمَّا أَنْ وَلَّى، قَالَ رَجُلٌ مِنَ الْمَجْلِسِ: أَتَدْرِى مَا قَطَعْتَ لَهُ؟ إِنَّمَا قَطَعْتَ لَهُ الْمَاءَ الْعِدَّ. قَالَ: فَانْتَزَعَهُ مِنْهُ
Dari Abyadh bin Hammal: Ia pernah mendatangi Rasulullah ﷺ dan meminta beliau agar memberikan tambang garam kepada dirinya. Beliau lalu memberikan tambang itu kepada Abyadh. Ketika Abyadh bin Hammal ra. telah pergi, ada seseorang di majelis itu yang berkata, “Tahukah Anda, apa yang telah Anda berikan kepada dia? Sungguh Anda telah memberi dia sesuatu yang seperti air mengalir (al-mâ’ al-‘idd).” Ibnu al-Mutawakkil berkata, “Lalu Rasulullah ﷺ menarik kembali pemberian tambang garam itu dari dirinya (Abyadh bin Hammal).” (HR Abu Dawud dan at-Timidzi).
Hadis ini maqbûl dengan banyaknya jalan (katsrah ath-thurûq) karena memenuhi persyaratan minimal sebagai hadis hasan (Lihat: Al-Mubarakfuri, Tuhfah al-Ahwadzî, 4/9). Hadis tersebut merupakan dalil bahwa barang tambang yang depositnya melimpah adalah milik umum. Tidak boleh dimiliki oleh individu (Syaikh Abdul Qadim Zallum, Al-Amwâl fî Dawlah al-Khilâfah, hlm. 54-56).
Alasannya, dalam hadis tersebut Rasulullah ﷺ yang sekaligus sebagai kepala Negara Islam di Madinah saat itu menarik kembali tambang garam yang sempat beliau berikan kepada Abyadh bin Hammal ra. Hal itu beliau lakukan setelah beliau tahu bahwa tambang garam tersebut depositnya melimpah. Dengan demikian Rasulullah ﷺ ingin menegaskan bahwa tambang garam yang depositnya melimpah tersebut tidak boleh dimiliki oleh individu karena merupakan milik umum.
Ketentuan ini berlaku bukan hanya untuk tambang garam saja, seperti dalam hadis di atas, tetapi berlaku pula untuk seluruh barang tambang. Mengapa? Karena larangan tersebut didasarkan pada adanya ‘illat yang disebutkan dengan jelas dalam hadis tersebut, yakni “seperti air yang mengalir”. Dengan demikian semua barang tambang yang jumlahnya “seperti air yang mengalir” (depositnya melimpah) tidak boleh dimiliki oleh individu; termasuk oleh swasta dan asing.
Imam Ibnu Qudamah berkata:
وَأَمَّا الْمَعَادِنُ الْجَارِيَةُ كَالْقَارِ، وَالنِّفْطِ، وَالْمَاءِ، فَهَلْ يَمْلِكُهَا مَنْ ظَهَرَتْ فِي مِلْكِهِ؟ فِيهِ رِوَايَتَانِ أَظْهَرُهُمَا، لَا يَمْلِكُهَا
Adapun barang tambang yang melimpah seperti garam, minyak bumi dan air, apakah boleh orang menampakkan kepemilikannya? Dalam hal ini ada dua riwayat. Namun, yang lebih kuat adalah tidak boleh seseorang memiliki barang tambang yang melimpah tersebut (Ibnu Qudamah, Al-Mughni, 12/131).
Wajib Dikelola oleh Negara
Berdasarkan paparan di atas jelas bahwa semua tambang yang depositnya besar haram dikuasai oleh pribadi-pribadi, swasta dan asing. Termasuk tidak boleh dikuasai oleh ormas. Semua tambang tersebut wajib dikelola oleh Negara. Seluruh hasilnya harus dinikmati oleh seluruh rakyat. Kalaupun dalam pengelolaannya Negara melibatkan pribadi-pribadi, swasta dan asing, termasuk ormas, mereka semua hanya boleh menjadi mitra pelaksana (operator) yang dikontrak. Bukan diberi konsesi, penguasaan atau hak kepemilikan atas tambang-tambang tersebut.
Dengan demikian, yang semestinya dilakukan oleh ormas-ormas Islam seperti NU, Muhammadiyah, Persis, MUI dll adalah mendorong Negara untuk mengambil-alih kembali semua tambang yang selama ini diberikan kepada oligarki swasta dan asing, yang terbukti sebagian besar hasilnya hanya dinikmati oleh mereka saja. Ormas-ormas Islam seperti NU, Muhamadiyah, Persis, MUI dll wajib memaksa Negara untuk mengelola semua tambang yang depositnya besar semata-mata demi kepentingan dan kemaslahatan seluruh rakyat. Bukan malah terlibat dalam penguasaan dan pengelolaan tambang tersebut, yang hasilnya pun tentu hanya bisa dinikmati oleh organisasi dan jamaahnya saja.
Alhasil, ormas-ormas Islam seharusnya tidak tergoda untuk terlibat dalam penguasaan dan pengelolaan tambang apapun. Apalagi ke depan pengelolaan tambang oleh ormas-ormas Islam berpotensi menjadi jebakan dan perangkap politik bagi mereka. Sebaliknya, ormas-ormas Islam seharusnya tetap fokus, tegak lurus dan istiqamah di jalan amar makruf nahi mungkar, terutama mengoreksi berbagai kebijakan Negara yang melenceng dari syariah Islam, termasuk dalam pengelolaan tambang yang selama ini sangat kapitalistik, liberal dan ugal-ugalan. Kebijakan Negara yang melenceng dari syariah dalam pengelolaan tambang tersebut terbukti hanya memperkaya oligarki, aseng dan asing. Akibatnya, di tengah kekayaan barang tambang yang amat berlimpah-ruah di negeri ini, rakyat kebanyakan tetap miskin. Padahal rakyatlah sesungguhnya pemilik semua tambang yang ada, termasuk sumber daya alam lainnya, yang menguasai hajat hidup orang banyak.
Hikmah:
Allah ﷻ berfirman:
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Hendaknya ada di antara kalian segolongan umat yang menyerukan kebaikan (Islam) dan melakukan amar makruf nahi mungkar. Mereka itulah kaum yang beruntung. (QS Ali Imran [3]: 104).
والله أعلمُ ﺑﺎ ﻟﺼﻮﺍﺏ
“dan Allah lebih tahu yang sebenar-benarnya”
Kaffah Edisi 354