Meski konteksnya adalah membandingkan Istana Negara di Jakarta dan Bogor dengan Ibu Kota Negara (IKN) di Kalimantan Timur (Kaltim), tentu menarik pernyataan Presiden Jokowi baru-baru ini. Jokowi menyebut Istana Negara di Jakarta dan Bogor pernah dihuni pemerintah kolonial Belanda. "Jadi bau-bau kolonial selalu saya rasakan, setiap hari dibayang-bayangi," kata Jokowi dalam video yang diunggah kanal YouTube Sekretariat Presiden (Cnnindonesia.com, 13/8/2024) .
Boleh jadi, pernyataan Jokowi ini sekadar ingin menambah daftar “argumentasi” tentang pentingnya memindahkan ibukota negara dari Jakarta dan Bogor yang dianggap sebagai warisan kolonial ke IKN di Kalimantan Timur yang merupakan hasil produk anak bangsa. Dengan pernyataannya itu, Jokowi seolah ingin memberikan kesan bahwa pembangunan IKN di Kaltim merupakan simbol untuk melepaskan bangsa ini dari belenggu kolonialisme.
Padahal jelas, IKN lebih merupakan simbol kolonialisme itu sendiri. Tepatnya, neo-kolonialisme. Ironisnya, neo-kolonialisme itu dilakukan oleh rezim penguasa terhadap rakyatnya sendiri, terutama rakyat Kaltim di sekitar IKN. Mereka tergusur lahannya dan terancam kehidupannya. Belum lagi adanya izin kepada para investor untuk menguasai lahan IKN hingga 190 tahun yang diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2023. PP yang kental dengan aroma busuk kolonialisme ini seolah melengkapi aturan Undang-Undang Cipta Kerja (UU No. 11 Tahun 2020). UU yang juga ada bau-bau kolonialnya ini memberikan izin penguasaan lahan oleh para investor, terutama melalui skema Hak Pengelolaan (HPL), hingga 90 tahun.
Neo-Kolonialisme Mencengkeram Negeri Ini
Kolonialisme identik dengan imperialisme (penjajahan). Sejumlah negara seperti Inggris, AS, Prancis, Spanyol, Portugal dan Belanda pernah menjadi kekuatan kolonial pada masa lalu. Bangsa dan negeri ini adalah di antara yang pernah merasakan penderitaan di bawah kolonialisme Barat selama ratusan tahun sebelum akhirnya meraih kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945.
Namun demikian, tanpa banyak disadari, kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945 sesungguhnya menandai era neo-kolonialisme di negeri ini. Neo-kolonialisme atau neo-imperialisme (penjajahan gaya baru) adalah upaya negara-negara maju atau kekuatan global untuk melakukan kontrol terhadap negara-negara berkembang atau bekas koloni, meskipun secara formal negara-negara tersebut telah merdeka. Neo-kolonialisme dilakukan tanpa kekuatan militer, tetapi melalui dominasi ekonomi, politik, budaya dan ideologi.
Jelas, Indonesia saat ini masih dicengkeram oleh neo-kolonialisme atau neo-imperialisme meskipun secara resmi negara ini telah merdeka sejak 79 tahun lalu. Beberapa indikatornya antara lain:
Pertama, ketergantungan ekonomi. Indonesia memiliki ketergantungan pada investasi asing dan perdagangan internasional. Buktinya, banyak perusahaan multinasional (seperti Freeport, ExxonMobil, BP, Shell, Chevron, dll) yang beroperasi di Indonesia, terutama di sektor sumber daya alam seperti pertambangan, energi dan perkebunan. Freeport, misalnya, selama puluhan tahun hingga saat ini telah menguasai dan menguras jutaan ton emas di Papua. Chevron pernah menguasai dan menguras Blok Rokan, lapangan minyak terbesar di Indonesia. BP menguasai dan menguras LNG Tangguh di Papua. Banyak perusahaan swasta nasional maupun asing juga mengeksploitasi hutan dan lahan perkebunan yang sering lebih memberikan keuntungan besar kepada mereka dan merugikan rakyat. Ditambah lagi kerusakan akibat eksploitasi SDA yang menciptakan bencana ekologis.
Kedua, ketergantungan pada utang luar negeri. Indonesia memiliki utang luar negeri yang cukup besar, ribuan triliun rupiah, baik kepada negara-negara lain maupun ke lembaga-lembaga internasional seperti IMF dan Bank Dunia. Beberapa program bantuan atau pinjaman dari lembaga-lembaga ini sering datang dengan syarat-syarat yang dapat memengaruhi kebijakan ekonomi domestik, seperti keharusan liberalisasi dan privatisasi sektor-sektor publik (SDA seperti tambang, energi, migas, dll).
Ketiga, dipengaruhi kebijakan politik asing. Pengaruh asing di negeri ini dalam pengambilan kebijakan sesungguhnya nyata. Agenda liberalisasi ekonomi dan privatisasi di Indonesia, misalnya, telah lama disinyalir berada dalam pengaruh asing.
Keempat, dominasi gaya hidup dan budaya. Indonesia juga menghadapi dominasi gaya hidup dan budaya asing, terutama melalui media, film, musik dan produk-produk konsumtif. Pengaruh gaya hidup dan budaya Barat sering memengaruhi pola pikir dan gaya hidup masyarakat Indonesia, terutama di kalangan generasi muda. Hal ini sering menciptakan dekadensi moral. Di antaranya perilaku seks bebas. Menurut data BKBBN terakhir, 60% remaja usia 16-17 tahun pernah melakukan hubungan seks. Kebanyakan tentu saja hubungan seks di luar nikah.
Agar Lepas dari Neo-Kolonialisme
Untuk melepaskan diri dari neo-kolonialisme, Indonesia dan negara-negara Muslim lainnya perlu mengambil langkah-langkah strategis yang berakar pada prinsip-prinsip syariah Islam, juga didasarkan pada keyakinan bahwa kemandirian sejati hanya bisa dicapai dengan menegakkan kembali ideologi Islam.
Berikut adalah beberapa langkah yang bisa diambil berdasarkan ketetapan Islam. Pertama: Menerapkan syariah Islam secara kâffah di semua aspek kehidupan, termasuk politik, ekonomi, sosial dan budaya. Ini berarti meninggalkan ideologi dan sistem asing, seperti kapitalisme dan sekularisme, yang jelas-jelas menciptakan kolonialisme.
Berikutnya adalah menerapkan ideologi dan sistem Islam yang didasarkan pada al-Quran dan as-Sunnah. Di bawah naungan sistem Islam, sumber daya alam, kekayaan negara dan kebijakan ekonomi akan dikelola sesuai dengan hukum syariah, yang mengutamakan keadilan dan kesejahteraan umat. Allah ﷻ telah berfirman:
فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ
Hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut wahyu yang telah Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu (TQS al-Maidah [5]: 48).
Kedua: Membangun ekonomi mandiri berbasis Islam dengan menghindari ketergantungan pada utang luar negeri atau investasi asing yang bersyarat. Sistem ekonomi Islam menekankan keadilan, distribusi kekayaan yang merata, larangan riba dan pemanfaatan sumber daya alam yang adil dan berkelanjutan. Karena itu pengelolaan sumber daya alam wajib dilakukan oleh Negara haram diserahkan kepada pihak swasta (termasuk ormas) dan asing untuk kepentingan seluruh rakyat, bukan untuk kepentingan segelintir orang atau perusahaan swasta dan asing. Rasulullah ﷺ bersabda:
اَلْمُسْلِمُوْنَ شُركاءُ فِي ثَلاَثٍ: فِي الْكَلَإِ، وَالْمَاءِ، وَالنَّارِ
Kaum Muslim sama-sama membutuhkan tiga hal: hutan, air dan api (HR Abu Dawud dan Ahmad).
Hadis ini dijadikan dalil oleh para ulama, antara lain Al-‘Allamah al-Qadhi Syaikh Muhammad Taqiyuddin an-Nabhani, bahwa sumber daya alam tak hanya ketiga jenis yang disebutkan dalam hadis tersebut seperti tambang, yang menguasai hajat hidup orang banyak, adalah bagian dari kepemilikan umum (An-Nabhani, An-Nizhâm al-Iqtishâdi fî al-Islâm, hlm. 218).
Ketiga: Menegakkan keadilan ekonomi dan sosial. Negara harus memastikan bahwa kebijakan ekonomi dan sosial yang diambil tidak menguntungkan satu kelompok tertentu, apalagi pihak asing, tetapi harus diarahkan untuk kemaslahatan seluruh lapisan masyarakat. Allah ﷻ berfirman:
كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ
Agar harta-kekayaan itu tak hanya beredar di kalangan orang-orang kaya saja di antara kalian (TQS al-Hasyr [59]: 7).
Keempat: Mengusir pengaruh pemikiran, ideologi dan budaya asing. Caranya dengan memperkuat identitas Islam sekaligus menolak pemikiran, ideologi dan budaya asing yang merusak dan bertentangan dengan ajaran Islam. Masyarakat harus dididik untuk bangga dengan identitas Islam mereka dan menolak pengaruh asing yang bertentangan dengan ajaran Islam. Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
Siapa saja yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk golongan mereka (HR Abu Dawud).
Kelima: Membangun kesadaran politik Islam. Umat Islam harus memahami bahwa politik dalam Islam adalah sarana untuk menegakkan keadilan dan mengelola urusan umat sesuai dengan syariah Islam. Oleh karena itu, umat harus aktif berjuang untuk menegakkan kembali syariah Islam dalam semua aspek kehidupan.
Keenam: Menegakkan kembali institusi pemerintahan Islam. Ini adalah kunci untuk mengakhiri neo-kolonialisme di negara-negara Muslim. Institusi pemerintahan Islam (Khilafah) akan menyatukan umat Islam di bawah satu pemerintahan yang berlandaskan aqidah Islam. Khilafah akan melindungi umat dari eksploitasi asing sekaligus memulihkan kedaulatan politik, ekonomi dan budaya. Rasulullah ﷺ bersabda:
ثُمَّ تَكُوْنُ خِلاَفَة عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ
…Kemudian akan ada Khilafah yang mengikuti manhaj Kenabian… (HR Ahmad).
Ketujuh: Mengusir pengaruh dan intervensi asing. Ini termasuk menolak campur tangan politik, bantuan yang bersyarat dan perjanjian internasional yang merugikan kepentingan umat Islam. Allah ﷻ berfirman:
وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلًا
Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada kaum kafir untuk memusnahkan kaum Mukmin (QS an-Nisa' [4]: 141).
Khatimah
Di tengah Perayaan Hari Kemerdekaan yang ke-79 pada Bulan Agustus pada tahun ini, selayaknya bangsa yang mayoritas Muslim ini segera menyadari: Pertama, negeri ini telah lama berada dalam cengkeraman neo-kolonialisme. Kedua, bangsa ini tentu wajib sekuat tenaga melepaskan diri dari cengkeraman neo-kolonialisme ini. Ketiga, satu-satunya cara untuk melepaskan bangsa dan negeri ini dari cengkeraman neo-kolonialisme adalah dengan menerapkan kembali ideologi Islam dalam institusi pemerintahan Islam, yakni Khilafah ‘alâ minhâj an-Nubuwwah.
Hikmah:
Allah ﷻ berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ...
Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul jika Rasul menyeru kalian pada suatu yang memberikan kehidupan kepada kalian.... (TQS al-Anfal [8]: 24).
والله أعلمُ ﺑﺎ ﻟﺼﻮﺍﺏ
“dan Allah lebih tahu yang sebenar-benarnya”
Kaffah Edisi 356