Kamis (19/9) lalu, DPR RI mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Atas UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Salah satu klausul yang diubah adalah jumlah kementerian yang akan dibentuk dalam kabinet akan datang. Lewat perubahan ini kepala negara baru yang akan dilantik pada 20 Oktober nanti bebas membuat kementerian tanpa ada batasan.
Cacat Etika
Sejumlah pakar hukum menilai pengesahan UU tersebut mengandung sejumlah kejanggalan. Deni Indrayana, mantan Menkumham, menuliskan ada sejumlah cacat dalam pengesahan UU tersebut. Di antaranya cacat legislasi. Ini karena prosesnya yang dikebut dan mengejar target pada akhir masa jabatan DPR dan Presiden. Tidak ada partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation) dalam proses pembuatan dua RUU tersebut. Padahal sudah jelas, MK membatalkan UU Ciptaker karena tidak adanya partisipasi yang bermakna tersebut.
Mantan Menkumham itu juga menyebut tindakan DPR ini sebagai cacat etika bernegara. Mestinya pada akhir-akhir masa jabatan, Presiden dan DPR tidak lagi layak menghasilkan keputusan-keputusan strategis, yang berdampak luas dalam kehidupan berbangsa. Apalagi prosesnya sangat elitis; mengabaikan masukan dan kepentingan publik yang lebih luas.
Jumlah jajaran menteri yang membengkak dalam kabinet juga berpeluang menjadi cara presiden terpilih untuk membalas budi kepada partai-partai dan pihak-pihak yang membantu kemenangannya dalam Pilpres. Seperti sudah menjadi tradisi dalam sistem demokrasi, pembentukan kabinet oleh presiden terpilih menjadi ajang bancakan alias bagi-bagi kekuasaan di antara para anggota koalisi dan para pendukungnya.
Memang presiden terpilih Prabowo Subianto mencanangkan pembentukan zaken kabinet, yaitu kabinet yang diisi oleh kalangan profesional. Namun, sejarah menunjukkan bahwa kabinet seperti itu hanya terjadi beberapa kali. Yang sering terjadi, kabinet tetap saja diisi oleh para kolega dan pendukung, baik dari sesama anggota koalisi maupun pihak-pihak lain. Beberapa parpol sudah terang-terangan meminta jumlah kursi menteri kepada Prabowo.
Begitulah. Demokrasi menciptakan politik patronase, yakni pembagian keuntungan di antara para politisi dan para pendukungnya. Itulah yang terjadi di tanah air. Penguasa membagi-bagikan kue kekuasaan kepada para pendukungnya, seperti jabatan menteri atau komisaris BUMN, tanpa mempertimbangkan lagi kapasitas dan kompetensi. Di antara dampaknya, berbagai BUMN terus merugi bahkan terancam bangkrut. Pada tahun 2022, Menteri BUMN Erick Thohir mengungkapkan utang BUMN mencapai Rp 1.640 triliun. Bahkan sampai ada BUMN yang terjerat pinjol.
Bancakan kekuasaan ini juga membuka peluang besar terjadinya korupsi. Sebabnya, banyak proyek di pemerintahan akhirnya dikuasai oleh golongan tertentu untuk kepentingan kelompok sendiri. Pengawasan dan penindakan pun menjadi sulit untuk dilakukan karena terjadi konflik kepentingan di antara legislatif, eksekutif bahkan yudikatif.
Terbukti dalam sistem demokrasi kekuasaan bukanlah di tangan rakyat, tetapi di tangan segelintir elit penguasa dan partai politik. Demokrasi meniscayakan prinsip ’pemenang mengambil segalanya’. Terjadilah bancakan kekuasaan secara konstitusional.
Jabatan Itu Amanah
Sistem demokrasi tentu berbeda dengan sistem pemerintahan Islam. Dalam Islam, Nabi Muhammad ﷺ memberikan contoh dengan tidak memberikan kekuasaan atau jabatan kepada orang yang berambisi atas kekuasaan tersebut. Beliau bersabda:
إِنَّا وَاللَّهِ لاَ نُوَلِّى عَلَى هَذَا الْعَمَلِ أَحَدًا سَأَلَهُ وَلاَ أَحَدًا حَرَصَ عَلَيْهِ
Kami, demi Allah, tidak akan mengangkat atas tugas (jabatan) ini seorang pun yang memintanya dan yang berambisi terhadapnya (HR Muslim).
Abu Bakar ath-Tharthusi dalam Sirâj al-Muluk menjelaskan, “Rahasia di balik semua ini adalah bahwa kekuasaan (jabatan) adalah amanah…Berambisi atas amanah kekuasaan adalah salah satu bukti dari sikap khianat...Jika seseorang yang khianat diberi amanah maka itu seperti meminta serigala untuk menggembalakan domba.”
Agar kekuasaan menjadi berkah bagi umat, ada sejumlah tuntunan bagi kaum Muslim di dalamnya: Pertama, Islam mengingatkan bahwa jabatan adalah amanah yang kelak akan menjadi kehinaan bagi orang yang menelantarkannya. Nabi ﷺ menasihati Abu Dzar ra. ketika ia meminta suatu jabatan:
يَا أَبَا ذَرٍّ إِنَّكَ ضَعِيفٌ وَإِنَّهَا أَمَانَةٌ وَإِنَّهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ خِزْىٌ وَنَدَامَةٌ إِلاَّ مَنْ أَخَذَهَا بِحَقِّهَا وَأَدَّى الَّذِى عَلَيْهِ فِيهَا
Wahai Abu Dzar, sungguh engkau adalah orang yang lemah. Kekuasaan itu adalah amanah dan kekuasaan tersebut pada Hari Kiamat akan menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi orang yang mendapatkan kekuasaan tersebut dengan haq dan melaksanakan kewajibannya pada kekuasaannya itu (HR Muslim).
Kedua, jabatan harus dipegang oleh orang yang memiliki qudrah (kemampuan) atau profesional di bidangnya. Rasulullah saw. mengingatkan bahwa masyarakat akan binasa jika amanah diserahkan bukan kepada ahlinya atau orang yang layak.
فَإِذَا ضُيِّعَتْ الْأَمَانَةُ فَانْتَظِرْ السَّاعَةَ قَالَ كَيْفَ إِضَاعَتُهَا قَالَ إِذَا وُسِّدَ الْأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرْ السَّاعَةَ
“Jika amanah sudah disia-siakan maka tunggulah Hari Kiamat.” Ada orang bertanya, “Bagaimana amanah itu disia-siakan?” Nabi ﷺ menjawab, “Jika suatu urusan (amanah) diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah Hari Kiamat.” (HR al-Bukhari).
Selain soal kapabilitas, Rasulullah ﷺ juga menyebutkan ciri-ciri pemimpin yang mendapatkan kebaikan dan pertolongan Allah, yakni yang dikelilingi oleh para pembantu yang shiddîq. Mereka adalah orang-orang yang jujur dan berpegang pada kebenaran Islam. Sebaliknya, jika Allah menghendaki keburukan kepada seorang pemimpin maka pemimpin tersebut akan dikelilingi oleh para pembantu yang jahat. Sabda beliau:
إِذَا أَرَادَ اللهُ بِالأمِيرِ خَيرًا، جَعَلَ لَهُ وَزِيرَ صِدقٍ، إِنْ نَسِيَ ذَكَّرَهُ، وَإِنْ ذَكَرَ أَعَانَهُ، وَإِذَا أَرَادَ بِهِ غَيرَ ذَلِكَ جَعَلَ لَهُ وَزِيرَ سُوءٍ، إِنْ نَسِيَ لَمْ يُذَكِّرهُ، وَإِنْ ذَكَرَ لَمْ يُعِنْهُ
Jika Allah menghendaki kebaikan untuk pemimpin, Dia menjadikan untuk dirinya seorang pembantu yang jujur. Jika dia lupa, pembantunya itu mengingatkan dirinya. Jika dia ingat, pembantunya itu menolong dirinya. Jika Allah menghendaki selain itu, Dia menjadikan untuk dirinya pembantu yang jahat. Jika dia lupa, pembantunya itu tidak mengingatkan dirinya. Jika dia ingat, pembantunya itu tidak menolong dirinya (HR Abu Dawud).
Ketiga, Islam menjadikan jabatan di tangan penguasa adalah untuk mengurus rakyat, bukan untuk menipu mereka dan mencari keuntungan untuk dirinya dan golongannya semata. Nabi ﷺ bersabda:
الإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Imam (kepala negara) itu adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyatnya (HR ar-Bukhari dan Muslim).
Sayangnya, amat mengenaskan nasib rakyat di alam demokrasi. Suara mereka diperebutkan saat Pemilu. Namun, setelah itu nasib mereka jauh dari perhatian. Ketika menteri dan presiden serta keluarganya mengenakan pakaian dan asesoris seharga ratusan juta rupiah, justru ada warga yang mati kelaparan. Ketika para penguasa dan keluarganya naik-turun pesawat jet pribadi, masih ada warga sakit yang ditandu melewati jalan terjal berbukit. Bahkan ada yang meninggal di perjalanan sebelum sampai ke rumah sakit.
Menelantarkan rakyat dan memanipulasi kekuasaan yang dilakukan oleh penguasa adalah kejahatan berat. Ada ancaman yang dikhususkan untuk para penguasa yang jahat, culas dan menyelewengkan kekuasaannya. Nabi ﷺ bersabda:
مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيهِ اللهُ رَعِيَّةً، يَمُوتُ يَوْمَ يَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لِرَعِيَّتهِ إلا حَرَّمَ الله عَلَيهِ الجَنَّةَ
Tidaklah seorang hamba pun, yang telah Allah amanahi untuk mengurusi urusan rakyat, mati dalam keadaan menipu rakyatnya, kecuali Allah mengharamkan bagi dirinya masuk surga (HR Muttafaq ’alayhi).
Kenyataan yang menyakitkan bahwa di tengah rakyat yang terus ditimpa kemiskinan, pengangguran terus bertambah, juga badai PHK menimpa puluhan ribu pekerja, kekayaan para pejabat termasuk para menteri justru makin bertambah. Kekayaan Presiden Jokowi, misalnya, pada tahun 2023 bertambah Rp 13,4 miliar dari tahun sebelumnya. Kekayaan Menteri Agama Yaqut melonjak lebih dari 10 kali lipat setelah dua tahun dilantik.
Keempat, kewajiban mengurus rakyat tidak akan bisa dilakukan tanpa penerapan syariah Islam. Dalam Islam, para penguasa diberi taklif (tugas) untuk menjalankan amanah kekuasaan ini dengan menjalankan hukum-hukum Allah ﷻ. Allah ﷻ berfirman:
إِنَّ ٱللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَن تُؤَدُّوا۟ ٱلْأَمَٰنَٰتِ إِلَىٰٓ أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُم بَيْنَ ٱلنَّاسِ أَن تَحْكُمُوا۟ بِٱلْعَدْلِ ۚ
Sungguh Allah telah menyuruh kalian agar menyerahkan amanah kepada yang berhak menerimanya dan juga (menyuruh kalian) agar kalian—jika menetapkan hukum di antara manusia—menetapkan hukum dengan adil (TQS an-Nisa’ [4]: 58).
Terkait ayat ini Imam ath-Thabari, dalam Tafsîr ath-Thabarî, menukil perkataan Ali bin Abi Thalib ra., “Kewajiban penguasa adalah berhukum dengan hukum yang telah Allah turunkan dan menunaikan amanah…”
Penerapan syariah Islam oleh penguasa adalah bukti keimanan pada Allah ﷻ. Penerapan syariah Islam juga akan mendatangkan keadilan dan keberkahan bagi rakyat. Dengan penerapan syariah Islam para penguasa pun akan senantiasa diliputi oleh ketakwaan. Mereka akan menjadikan rakyat sebagai prioritas kemakmuran. Hukum pun dapat ditegakkan dengan seadil-adilnya. Jauh dari kepentingan pribadi maupun golongan.
Hikmah:
Allah ﷻ berfirman:
وَإِذَآ أَرَدْنَآ أَن نُّهْلِكَ قَرْيَةً أَمَرْنَا مُتْرَفِيهَا فَفَسَقُوا۟ فِيهَا فَحَقَّ عَلَيْهَا ٱلْقَوْلُ فَدَمَّرْنَٰهَا تَدْمِيرًا
Jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, Kami memerintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah). Akan tetapi, mereka melakukan kedurhakaan di negeri itu. Karena itu sudah sepantasnya berlaku atas mereka perkataan (ketentuan) Kami. Kemudian Kami menghancurkan negeri itu sehancur-hancurnya. (TQS al-Isra’ [17]: 16).
والله أعلمُ ﺑﺎ ﻟﺼﻮﺍﺏ
“dan Allah lebih tahu yang sebenar-benarnya”
Kaffah Edisi 362