Beberapa waktu lalu Presiden Prabowo menyatakan kekagumannya pada kekuasaan Ottoman atau Khilafah Utsmaniyah yang berpusat di Turki. Menurut dia, Imperium Ottoman adalah sistem pemerintahan yang bersih dan adil sehingga dapat memakmurkan rakyatnya. Hal itu ia sampaikan dalam pidato pembukaan Tanwir dan resepsi Milad ke-112 Muhammadiyah di Universitas Muhammadiyah Kupang, Nusa Tenggara Timur, Rabu (4/12/2024).
Prabowo juga mengutip perkataan terkenal dari pendiri Imperium Ottoman (baca: Khilafah Utsmaniyah), Osman Ghazi, "Tidak ada negara tanpa tentara yang kuat. Tidak ada tentara yang kuat tanpa uang. Tidak ada uang tanpa kemakmuran. Tidak ada kemakmuran tanpa rakyat yang bahagia dan sejahtera. Tidak ada rakyat yang bahagia dan sejahtera tanpa pemerintah yang bersih dan adil. Artinya, tidak ada negara tanpa keadilan."
Selain itu, Presiden Prabowo juga menyoroti nilai-nilai penting yang dapat dipetik dari Kekhilafahan tersebut, yang dikenal sebagai imperium multietnis yang toleran terhadap semua agama dan suku.
Khilafah adalah Sejarah Islam
Imperium Ottoman yang disebut Presiden Prabowo adalah sebutan bangsa Eropa untuk Khilafah Utsmaniyah yang berpusat di Istanbul. Khilafah Utsmaniyah yang muncul sejak tahun 1299 adalah bagian dari sejarah panjang Kekhilafahan Islam di dunia hampir selama 14 abad.
Salah satu prestasi besar Khilafah Utsmaniyah adalah pembebasan Konstantinopel (Istanbul) pada 20 Jumadil Ula 857 H, atau bertepatan 29 Mei 1453 M. Pembebasan Konstantinopel dari Imperium Romawi Timur tersebut dilakukan oleh Sultan Muhammad al-Fatih, putra dari Sultan Murad II.
Kekuasaan Khilafah Utsmaniyah yang berjaya hampir tujuh ratus tahun tidaklah berdiri di ruang hampa. Kekuasaannya tegak di atas pondasi kekuasaan Islam yang diletakkan Nabi ﷺ, lalu dilanjutkan Khulafaur Rasyidin di Madinah, kemudian dilanjutkan para khalifah berikutnya.
Rasulullah ﷺ adalah kepala negara pertama yang menjalankan sistem pemerintahan Islam. Selain menyampaikan wahyu Allah ﷻ, beliau juga menata kehidupan umat dengan hukum-hukum-Nya. Beliau mengangkat para pembantu dalam bidang pemerintahan (mu’âwin), seperti Abu Bakar ra. dan Umar bin al-Khaththab ra. Beliau juga mengangkat sebagian Sahabat menjadi hakim, gubernur, petugas zakat, petugas kharaj, kepala kepolisian, juga mengirimkan para duta besar, membentuk pasukan serta mengangkat para pimpinan mereka, juga memimpin peperangan atau mengirimkan ekspedisi jihad fi sabilillah.
Setelah Baginda Nabi ﷺ wafat, kepemimpinan kaum Muslim dilanjutkan oleh Khulafaur Rasyidin. Para pemimpin ini kemudian disebut khalifah (pengganti), atau imam atau amirul mukminin. Nabi ﷺ telah berwasiat kepada kaum Muslim akan adanya para khalifah yang menggantikan beliau. Sabda beliau:
كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمُ الأَنْبِيَاءُ، كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ، وَإِنَّهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدِي، وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ
Dulu Bani Israil dipimpin oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi meninggal, ia akan digantikan oleh nabi yang lain. Akan tetapi, sungguh tidak ada nabi lagi sesudahku. Sepeninggalku akan ada para khalifah dan jumlahnya banyak (HR al-Bukhari).
Khilafah Ajaran Islam
Siapapun yang mengkaji ajaran dan sejarah Islam dengan seksama dan ikhlas akan mengakui bahwa Khilafah adalah bagian dari ajaran Islam. Para ulama salaf telah banyak membahas urgensi dan kewajiban mendirikan Khilafah.
Menurut Dr. Mahmud al-Khalidi, dalam disertasinya di Universitas al-Azhar, Mesir, “Khilafah adalah kepemimpinan umum atas seluruh kaum Muslim di dunia untuk menerapkan syariah dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia.” (Al-Khalidi, Qawâ’id Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm, hlm. 226).
Dalil kewajiban menegakkan Khilafah, sebagaimana dijelaskan oleh para ulama, tercantum dalam al-Quran, as-Sunnah dan Ijmak Sahabat. Salah satunya adalah firman Allah ﷻ:
وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ
Terapkanlah hukum di tengah-tengah mereka dengan apa yang Allah turunkan dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka (TQS al-Maidah [5]: 49).
Syaikh Abdullah bin Umar bin Sulaiman ad-Dumaji dalam kitabnya menjelaskan bahwa seruan ini ditujukan kepada Rasulullah ﷺ dan umatnya untuk bersegera menerapkan hukum-hukum Allah ﷻ. Perintah ini bukan semata menegakkan pemerintahan dan kekuasaan, melainkan menegakkan Imamah (Khilafah). Pasalnya, tidak mungkin menerapkan hukum-hukum Allah ﷻ dengan sempurna kecuali dengan metode (Imamah/Khilafah). Karena itu semua ayat yang memerintahkan umat menerapkan hukum Allah ﷻ menunjukkan kewajiban untuk mengangkat imam/khalifah yang akan mengurusi hal tersebut (Al-Imâmah al-’Uzhma ‘inda Ahlus Sunnah, hlm. 48).
Berdasarkan hal ini, para ulama telah bersepakat bahwa wajib atas kaum Muslim untuk mendirikan Kekhilafahan Islam. Imam al-Qurthubi, seorang ulama besar dari mazhab Maliki, ketika menjelaskan tafsir QS al-Baqarah ayat 30, menyatakan, “Ayat ini merupakan dalil paling asal mengenai kewajiban mengangkat seorang imam/khalifah yang wajib didengar dan ditaati, untuk menyatukan pendapat serta melaksanakan hukum-hukum khalifah. Tidak ada perselisihan pendapat tentang kewajiban tersebut di kalangan umat Islam maupun di kalangan ulama, kecuali apa yang diriwayatkan dari al-A’sham” (Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, 1/264-265).
Ulama lain dari mazhab Syafii, Imam al-Mawardi, juga menyatakan, “Menegakkan Imamah (Khilafah) di tengah-tengah umat merupakan kewajiban yang didasarkan pada Ijmak Sahabat” (Al-Mawardi, Al-Ahkâm as-Sulthâniyyah, hlm. 5).
Ulama Tanah Air, KH Sulaiman Rasjid (w. 1395 H) dalam karyanya yang terkenal, Fiqih Islam, menulis, “Kaum Muslim (ijmak yang mu’tabar) telah bersepakat bahwa hukum mendirikan Khilafah itu adalah fardu kifayah atas semua kaum Muslim.” (Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam. Cet. 76, Bandung: Sinar Baru Algensindo hlm 495).
Khilafah atau Imamah ini punya peran sentral dan strategis dalam tegaknya ajaran Islam. Dengan Khilafah urusan agama dan dunia akan terlaksana dan terjaga. Hal ini sebagaimana perkataan Imam Ibnu Khaldun bahwa tugas Khalifah/Imam adalah, “Menggantikan pemilik syariah (Nabi ﷺ) dalam menjaga agama dan mengurus dunia dengan agama.” (Ibn Khaldun, Târîkh Ibn Khaldûn, hlm. 98).
Sistem Pemerintahan Terbaik
Khilafah Islamiyah termasuk Khilafah Utsmaniyah memang pantas dikagumi bahkan diteladani. Belum pernah ada sistem pemerintahan yang berkuasa hampir 14 abad dominan dengan tinta emas. Bersih, adil dan mampu melebur umat manusia dalam satu wadah kesatuan. Sesuatu yang belum pernah bisa diciptakan oleh sistem pemerintahan manapun, termasuk sistem demokrasi.
Ada tiga faktor yang menjadikan pemerintahan Khilafah kuat dan berhasil. Pertama: Ketakwaan individu, terutama para penguasanya. Ajaran Islam berhasil membentuk pribadi-pribadi beriman dan bertakwa. Mereka adalah sosok yang hanya takut kepada Allah ﷻ sehingga menjaga diri dari perbuatan haram, seperti menyelewengkan kekuasaan, serta melakukan korupsi, suap dan gratifikasi.
Diriwayatkan bahwa Abdullah bin Umar ra, harus merelakan unta-untanya disita sang ayah, Khalifah Umar bin al-Khaththab ra., untuk negara. Hal itu terjadi karena unta miliknya digembalakan di padang gembalaan hewan zakat milik Baitul Mal. Di mata Khalifah Umar ra., hal itu sudah termasuk memanfaatkan fasilitas milik negara untuk keuntungan pribadi walaupun hanya sekadar padang gembalaan. Ketakwaan inilah yang menjadikan pemerintahan Khilafah berjalan bersih dan berhasil menciptakan keberkahan bagi umat.
Kedua: Khilafah konsisten hanya menerapkan hukum-hukum Islam. Inilah konsekuensi dari iman dan takwa; keterikatan dan menjalankan syariah Allah ﷻ. Sepanjang era Kekhilafahan, para penguasa Muslim tidak pernah menerapkan hukum selain dari syariah Islam.
Dalam penegakan hukum Islam melawan korupsi, misalnya, Sultan Muhammad IV dari Khilafah Utsmaniyah mendirikan dewan inspeksi yang mengawasi dan melaporkan sumber harta para pejabat. Ia juga menjatuhkan hukuman berat kepada pejabat negara yang memperkaya diri dengan cara ilegal. Selain wajib mengembalikan harta haram, para pelaku korupsi dan suap dicopot dari jabatannya dan dijatuhi hukuman penjara. Mantan hakim militer Anatolia, Veliyuddin Efendi, yang terbukti melakukan korupsi diasingkan ke Mytilene. Pengasingan maksimal dilakukan selama enam tahun. Pada abad ke-18, hukuman diperluas dengan hukuman mati dan denda.
Ketiga: Keterlibatan rakyat dalam amar makruf nahi mungkar. Inilah kontrol sosial yang bernilai tinggi sebagai buah iman dan takwa. Seorang Muslim tidak akan mendiamkan kemungkaran berjalan apalagi dilakukan oleh penguasa. Bahkan menasihati penguasa merupakan amal yang agung. Sabda Nabi ﷺ:
أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ
Jihad yang paling utama ialah menyatakan kebenaran di hadapan penguasa yang zalim (HR Abu Dawud).
Khatimah
Seorang Muslim jangan hanya sebatas kagum pada agamanya sendiri. Namun, dia wajib menjadikan diri mereka tunduk pada aturan agamanya. Manifestasi ketundukan itu adalah menjalankan setiap perintah Allah ﷻ dalam setiap bidang kehidupan, termasuk dalam sistem pemerintahan.
Terbukti, hanya dengan menjalankan ajaran Islam secara kâffah, dalam institusi Khilafah, umat merasakan keberkahan yang luar biasa. Namun, begitu mereka melepaskan diri dari ketaatan, musibah pun datang tak terkira. Demikian sebagaimana keruntuhan Khilafah Utsmaniyah pada tahun 1924 adalah akibat semakin jauhnya umat, terutama para penguasanya, dari menjalankan syariah Islam. Apalagi hari ini, umat terus-menerus menderita karena memang tak kunjung segera menegakkan aturan-aturan Allah ﷻ secara kâffah dalam seluruh aspek kehidupan mereka.
Hikmah:
Allah ﷻ berfirman:
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَٰكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. (TQS al-A’raf [7]: 96).
والله أعلمُ ﺑﺎ ﻟﺼﻮﺍﺏ
“dan Allah lebih tahu yang sebenar-benarnya”
Kaffah Edisi 373