
Tak ada bulan yang menandingi keistimewaan Ramadhan. Ramadhan dijuluki sayyid asy-syuhûr (pimpinan seluruh bulan) karena begitu berlimpah keutamaannya. Pada bulan ini ditebarkan ampunan dan rahmat Allah ﷻ. Pada bulan ini pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup dan setan-setan dibelenggu. Pada bulan ini pula ada satu malam yang lebih baik daripada seribu bulan. Itulah Lailatul Qadar.
Puasa Adalah Perisai

Pada Bulan Ramadhan Allah ﷻ menyeru kaum Mukmin untuk melaksanakan ibadah puasa. Demikian sebagaimana firman-Nya:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ كُتِبَ عَلَيْكُمُ ٱلصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana puasa itu diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian, agar kalian bertakwa (TQS al-Baqarah [2]: 183).
Secara bahasa, puasa (shawm) bermakna imsak (menahan). Adapun secara syar’i puasa bermakna menahan diri dari makan dan minum serta jimak (hubungan badan suami-istri) sejak terbit fajar hingga tenggelam matahari.
Di antara keutamaan puasa disebut Rasulullah ﷺ sebagai perisai bagi seorang Mukmin. Beliau bersabda:
الصِّيَامُ جُنَّةٌ كَجُنَّةِ أَحَدِكُمْ مِنَ الْقِتَالِ
Puasa adalah perisai seperti perisai salah seorang dari kalian dalam peperangan (HR an-Nasa’i).
Imam Ibnu Rajab rahimahulLâh menjelaskan makna junnah (perisai) dalam hadis di atas, yakni bahwa puasa yang dijalankan seorang hamba akan melindungi dirinya. Seperti perisai yang melindungi seseorang—saat berperang—dari serangan musuh, maka demikian pula puasa. Puasa melindungi pelakunya dari berbagai kemaksiatan di dunia (Ibnu Rajab, Jâmi’ al-’Ulûm wa al-Hikam, 2/139. Maktabah Syamilah).
Puasa yang menjadi perisai bagi seorang hamba dari berbagai kemaksiatan adalah puasa yang membentuk pribadi yang bertakwa. Itulah pribadi yang menaati segala perintah Allah ﷻ dan meninggalkan segala larangan-Nya. Inilah pencapaian dari puasa bagi seorang hamba (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 183).
Puasa sebagai junnah (perisai) juga bisa dimaknai sebagai pelindung hamba dari siksa neraka kelak di Akhirat. Rasulullah ﷺ bersabda dalam sebuah hadis qudsi:
قَالَ رَبُّنَا عَزَّ وَجَلَّ: الصِّيَامُ جُنَّةٌ يَسْتَجِنُّ بِهَا الْعَبْدُ مِنَ النَّارِ...
Tuhan kita, Allah ‘Azza wa Jalla, telah berfirman, “Puasa adalah perisai. Dengan perisai itu seorang hamba membentengi dirinya dari siksa api neraka...” (HR Ahmad).
Dengan demikian, puasa yang dijalankan atas dasar iman kepada Allah ﷻ dan semata-mata mengharap ridha-Nya akan mengantarkan seorang Muslim pada derajat takwa. Dengan itu ia akan terdorong untuk mengamalkan semua perintah Allah ﷻ tanpa memilah dan memilih lagi. Dengan itu pula ia akan tergerak untuk meninggalkan semua larangan-Nya seperti ghibah, kata-kata kasar dan kotor; meninggalkan permusuhan terhadap sesama; meninggalkan kebohongan dan penipuan; meninggalkan riba, zina, tindak korupsi, suap-menyuap, pemerasan, dsb. Ketakwaan ini akan terus terbawa walaupun Ramadhan sudah berlalu.
Muhâsabah Diri dan Negeri

Pertanyaannya: Apakah shaum Ramadhan yang telah kita jalankan setiap tahun telah benar-benar menjadi junnah (perisai) untuk diri kita? Sudahkan shaum Ramadhan yang terus berulang setiap tahun membentuk ketakwaan total pada mayoritas Muslim di negeri ini?
Terkait itu, hasil Survei Pew Research Center yang diterbitkan pada tahun 2024 memang menunjukkan bahwa Indonesia menjadi negara paling religius di antara 102 negara lainnya. Namun, kenyataannya justru kontradiktif. Relijius, tetapi jauh dari ketaatan beragama. Contoh, walaupun banyak diisi para pejabat Muslim, Indonesia malah menjadi ladang subur bagi praktik korupsi. Berdasarkan survei Transparansi Internasional tentang indeks persepsi korupsi pada tahun 2023, Indonesia menempati peringkat ke-115 dari 180 negara dalam pemberantasan kejahatan korupsi. Jauh dari clean government. Teranyar, bagaimana para pejabat di Pertamina rame-rame melakukan korupsi hingga merugikan negara nyaris mencapai Rp 1.000 triliun! Itu belum termasuk total korupsi bernilai ribuan triliun rupiah lainnya di bidang pertambangan, seperti timah, infrastruktur, dan berbagai bidang lainnya.
Contoh lain, meski Ramadhan disambut gembira, judi online dan pinjaman online tetap merajalela. Sebanyak 8,8 juta warga Indonesia terlibat judol dengan nilai perputaran uang mencapai Rp 600 triliun. Lalu sebanyak 18 juta warga terjerat pinjol dengan nilai transaksi lebih dari Rp 69 triliun.
Praktik premanisme juga terus merajalela di tengah masyarakat. Di antaranya dalam bentuk aksi-aksi pemerasan. Korbannya mulai dari pedagang kecil hingga perusahaan. Himpunan Kawasan Industri (HKI) melaporkan batalnya investasi senilai ratusan triliun rupiah akibat pemerasan yang dilakukan oleh sejumlah ormas di tanah air.
Penyebab semua ini terjadi adalah karena ajaran Islam telah dikerdilkan hanya dalam urusan ibadah ritual semata; tidak untuk bidang lain seperti ekonomi, sosial, pidana, apalagi politik dan pemerintahan. Inilah paham sekularisme yang sudah menjadi falsafah di negeri ini. Agama dipisahkan dari kehidupan. Agama hanya dipraktikkan di tempat-tempat ibadah dan momen-momen ibadah seperti Ramadhan.
Bahkan terjadi pula eksploitasi terhadap ajaran Islam. Islam dipakai saat memberikan keuntungan materi dan popularitas. Ajaran Islam yang membawa keuntungan seperti umrah, haji, zakat, infak dan sedekah digencarkan demi keuntungan penguasa.
Islam pun dieksploitasi untuk mencitrakan keshalihan para politisi dan pejabat, khususnya setiap menjelang Pemilu. Tidak lain agar umat percaya dan mau memilih mereka. Padahal sering hal itu hanyalah palsu dan pencitraan belaka.
Di sisi lain, orang-orang yang berusaha mewujudkan ketaatan total kepada Allah ﷻ dan menyerukan penerapan syariah Islam secara kâffah dilabeli sebagai kelompok radikal. Mereka dimusuhi dan diperlakukan semena-mena. Sebaliknya, orang-orang yang menyerukan sekularisme diberi panggung dan disanjung-sanjung.
Itulah sebabnya, meski setiap tahun ibadah puasa Ramadhan dilakukan, seperti tak berpengaruh bagi negeri ini. Tak kunjung membuat bangsa ini makin bertakwa kepada Allah ﷻ. Puasa yang dijalankan gagal menjadi perisai yang melindungi diri dan masyarakat dari berbagai kemaksiatan. Inilah yang diperingatkan Nabi ﷺ:
رُبَّ صَاىِٔمٍ حَظُّهُ مِنْ صِيَامِهِ الْجُوْعُ وَالْعَطَشُ
Betapa banyak orang berpuasa, yang hasil dari puasanya hanyalah lapar dan dahaga saja (HR Ahmad).
Imam Adalah Perisai

Selain itu, semua kerusakan juga terjadi akibat umat telah kehilangan perisai (junnah) yang lain, yakni Imam/Khalifah. Dialah Pemimpin Negara Khilafah yang menjaga dan melindungi umat dengan penerapan ajaran Islam secara kâffah. Keberadaan Imam/Khalifah juga disebut oleh Rasulullah ﷺ sebagai perisai (junnah), sebagaimana sabda beliau:
إِنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ...
Sesungguhnya Imam (Khalifah) adalah perisai… (HR Muslim).
Imam an-Nawawi menjelaskan kalimat “Sesungguhnya Imam (Khalifah) adalah perisai”, yakni seperti pelindung yang mencegah musuh dari menyakiti kaum Muslim; juga mencegah sebagian orang dari (kejahatan) sebagian yang lain; memelihara kemuliaan Islam; orang-orang berlindung kepada dirinya (Khalifah) dan gentar terhadap kekuasaannya (An-Nawawi, Al-Minhâj Syarh Shahîh Muslim ibn al-Hajjâj, 6/315, Maktabah Syamilah).
Perisai inilah yang sekarang hilang. Akibatnya, kaum Muslim kehilangan pelindungnya. Mereka teraniaya. Negeri mereka tercabik-cabik. Bahkan satu sama lain saling menyerang dan bermusuhan. Ironinya, mereka sama sekali tak pernah melakukan permusuhan apalagi mengobarkan peperangan terhadap entitas Yahudi yang menjajah negeri Palestina.
Akibat ketiadaan perisai ini pula umat kehilangan rasa aman dari berbagai gangguan. Tak ada lagi yang melindungi kehormatan, harta bahkan jiwa mereka. Kita menyaksikan perampasan harta seperti lahan warga oleh korporasi, penguasaan SDA oleh swasta asing dan aseng, bahkan penganiayaan dan pembunuhan yang menghilangkan nyawa Muslim yang tak berdosa.
Pantas jika Imam al-Ghazali sampai mengatakan bahwa agama dan kekuasaan bak saudara kembar (tidak boleh dipisahkan). Beliau pun menyatakan, “Agama adalah pondasi dan kekuasaan adalah penjaga. Apa saja yang tidak punya pondasi akan hancur. Apa saja yang tidak punya penjaga maka akan hilang.” (Al-Ghazali, Al-Iqtishâd fii al-’Itiqâd, hlm. 128, Maktabah Syamilah).
Sayangnya, Khilafah yang menjadi pelindung umat telah dihancurkan oleh Inggris lewat bantuan kaki tangan mereka, Mustafa Kemal, seorang Yahudi, pada 3 Maret 1924. Berarti selama lebih dari satu abad kaum Muslim tidak memiliki kekuatan yang melindungi mereka dari berbagai serangan dan kekacauan. Tidak ada juga yang menolong mereka ketika mengalami berbagai tikaman dari musuh-musuh mereka.
Yang lebih menyedihkan, para penjajah berhasil melakukan monsterisasi ajaran Islam, termasuk Khilafah sebagian bagian penting dari ajaran Islam. Akibatnya, umat takut dan menjauh dari agamanya sendiri. Bahkan tidak sedikit yang memusuhi risalah mulia ini, kecuali mengambil sedikit yang dianggap cocok dan menguntungkan mereka.
Khatimah
Wahai kaum Muslim! Bukankah sudah saatnya kita memperbaiki kualitas puasa kita? Tidak lain agar terwujud ketakwaan yang hakiki dan menyeluruh dalam diri kita.
Untuk itu, mari kita menjadikan Ramadhan kali ini untuk memulai perubahan menuju pribadi yang benar-benar bertakwa, yang siap menjalankan dan menegakkan syariah Allah ﷻ secara kâffah. Tentu dalam institusi Khilafah. Sebabnya, hanya dengan Khilafahlah segenap ajaran dan hukum-hukum Islam dapat terlaksana sempurna.
Hikmah:
Allah ﷻ berfirman:
أَفَتُؤۡمِنُونَ بِبَعۡضِ ٱلۡكِتَٰبِ وَتَكۡفُرُونَ بِبَعۡضٍۚ فَمَا جَزَآءُ مَن يَفۡعَلُ ذَٰلِكَ مِنكُمۡ إِلَّا خِزۡيٌ فِي ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَاۖ وَيَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِ يُرَدُّونَ إِلَىٰٓ أَشَدِّ ٱلۡعَذَابِۗ وَمَا ٱللَّهُ بِغَٰفِلٍ عَمَّا تَعۡمَلُونَ
Apakah kalian mengimani sebagian al-Kitab (al-Quran) dan mengingkari sebagian lainnya? Tidak ada balasan bagi orang yang melakukan itu di antara kalian kecuali kehinaan dalam kehidupan dunia, sementara pada Hari Kiamat mereka dilemparkan ke dalam azab yang amat keras. Allah tidak lengah dari apa yang kalian lakukan. (TQS al-Baqarah [2]: 85).
والله أعلمُ ﺑﺎ ﻟﺼﻮﺍﺏ
“dan Allah lebih tahu yang sebenar-benarnya”
Kaffah Edisi 385